Perlindungan TKI di Luar Negeri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Pada sisi lain seperti yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa untuk menggambarkan masyarakat Indonesia tidak ada yang lebih bagus dan tepat selain dengan mengatakan bahwa masyarakat itu sedang berubah secara cepat dan cukup mendasar. Indonesia adalah masyarakat yang tengah mengalami transformasi struktural yaitu dari masyarakat yang berbasis pertanian ke basisindustri. Perubahan tersebut mengalami akselerasi, yaitu sejak penggunaan teknologi makin menjadi modus andalan untuk menyelesaikan permasalahan
Kebijakan dan program pemerintah mengenai penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri merupakan salah satu solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran di tanah air, dengan memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri, TKI tidak saja mendapatkan penghasilan yang cukup besar, tetapi juga ikut menyumbang devisa bagi negara Indonesia.Banyak TKI yang sudah berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang pada mulanya ingin bekerja untuk membebaskan diri dan keluarganya dari jeratan kemiskinan mengalami penganiayaan dan perkosaan oleh majikan dan tindakan tidak semena-mena oleh sebagian perusahaan jasa tenaga kerja swasta (Hugo, 2002).
Bermula dari adanya persoalan yang menimpa para TKI seperti mendapat perlakuan yang kasar atau tidak manusiawi tetapi sebagian besar dari mereka juga banyak yang mendapat perlakuan baik dan sewajarnya. Disisi lain, seperti tidak diberi upah, dipukuli, diperkosa, disiram air panas, diseterika bagian tubuhnya, tidak diberi makan, dikurung dalam gudang dan lain-lain. Perlakuandiatas merupakan sebagian dari pelanggaran terhadap hak-hak TKI yang terjadi di luar negeri. Kurangnya informasi yang diperoleh calon TKI atau TKI yang bekerja di luar negeri banyak dikeluhkan oleh TKI dalam hubungannya dengan pelayanan dan penempatan TKI.
Minimnya akses informasi calon TKI dan TKI cenderung menimbulkan sikap pasif dan menerima perlakuan perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan majikannya karena mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Kemiskinan, kebodohan dan kekurangan informasi memang dapat menyesatkan. Akses informasi calon TKI dan TKI cenderung menimbulkan sikap pasif dan menerima perlakuan perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan majikannya karena mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Kemiskinan, kebodohan dan kekurangan informasi memang dapat menyesatkan. Akses informasi tidak diberikan, yang dibutuhkan buruh migran akses informasi.
Banyak TKI tidak dapat akses untuk mendapatkan informasi seperti upah dan yang lain-lainnya, aspek penyebaran informasi yang masih terbatas juga memberi pengaruh terhadap penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Banyak akses masalah yang terjadi akibat tidak memadainya penyediaan dan penyebaran informas ikepada masyarakat. Kurangnya informasi yang diterima calon TKI dan TKI karena pemerintah yang bertugas dalam pelayanan dan penempatan TKI belum optimal dalam memberikan informasi kepada mereka. Berbagai keluhan yang disebabkan oleh kurangnya akses dan fasilitas pelayanan informasi sebaiknya dapat dikurangi, apabila pemerintah semakin intensif dalam menyampaikan informasi hingga menjangkau tiap calon TKI dan TKI. Oleh karena itu, aspek pelayanan informasi merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkanpemahaman calon TKI dan TKI terutama.
Mengenai informasi hak dan kewajibannya.Informasi ini berguna untuk memberdayakan TKI sehingga mereka tidak mudah percaya kepadasponsor, calo, taikong atau perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan berani menolak tindakan sewenang-wenang majikan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya
sebagai TKI.
B. Rumusan Masalah
1. Fungsi dan peran TKI
2. Aturan TKI
3. Perlindungan pemerintah terhadap TKI
4. Permasalahan TKI dan solusinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi dan Peran TKI
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ternyata mempunyai peranan penting untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia yang saat ini sedang memanas.
Hal ini diungkapkan oleh M. Cholily, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur, yang ditemui pada hari Minggu (05/09) kemarin. “Pemerintah Malaysia diuntungkan dengan adanya TKI, Pemerintah Indonesia juga diuntungkan dengan devisa dari TKI,” jelasnya.
Menurutnya, Pemerintah Malaysia juga dipengaruhi oleh banyaknya TKI yang bekerja di sektor formal dan informal, sehingga penarikan secara massal TKI dari Malaysia dapat merugikan Negara Jiran tersebut. Belum lagi jika para TKI tersebut dipulangkan ke Indonesia, Pemerintah Indonesia juga harus menyediakan lapangan pekerjaan pengganti para TKI tersebut yang jumlahnya sekitar 2 juta jiwa. “Sebenarnya Indonesia dan Malaysia membutuhkan TKI, sehingga kedua negara seharusnya memberikan perhatian yang serius kepada buruh migran itu,” ucapnya.
Cholily mengatakan bahwa hubungan Indonesia dan Malaysia yang memanas bisa saja mempengaruhi kondisi psikologis dari para TKI. Bisa saja para majikan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap para TKI karena memanasnya hubungan antara Indonesia dan Malaysia. “Ada kemungkinan para majikan melakukan tindakan sewenang-wenang kepada TKI yang menjadi pembantu rumah tangga karena ketegangan kedua negara itu, sehingga hal itu merugikan TKI” katanya.
Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).
Hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Ini adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang tentu saja tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias ilegal. Diketahui, jumlah TKI ilegal cukup besar (khususnya di Malaysia). Hingga saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI ilegal diperkirakan mencapai 2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di negara tersebut (Sukamdi, 2008).
Sayangnya, sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor informal. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT). Hasil studi yang dilakukan Suhariyanto et al. dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwa sekitar 76 persen TKI adalah perempuan.
Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, mereka berperan penting bagi perekonomian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab mereka digelari sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2009, jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77 miliar dollar AS (BI dan BNP2TKI).
Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya yang diterima dari para TKI. Pasalnya, selama ini belum ada sistem yang memadai terkait penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Secara sederhana, selama ini remitansi dihitung dari semua residual pada neraca pembayaran (balance of payment).
Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi karena dikirim melalui berbagai saluran tidak resmi. Sebagai contoh, Survei Remitansi Nasional yang dilakukan Bank Indonesia mengungkap fakta bahwa di Nunukan, Kalimantan Timur, hanya 30 persen TKI yang mengirimkan uangnya ke tanah air dengan menggunakan saluran resmi atau bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang mereka melalui karabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.
Potensi besar
Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Karena itu, peran remitansi dari para TKI cukup besar bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil studi yang dilakukan oleh Suhariyanto et al. juga menemukan bahwa sebagian besar sumber pendapatan rumah tangga migran, yakni rumah tangga dengan minimal satu anggota rumah tangga bekerja sebagai TKI, berasal dari remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap total pendapatan yang diterima oleh rumah tangga.
Hasil studi juga menunjukkan, pola pengeluaran (expenditure pattern) rumah tangga migran yang menerima remitansi lebih baik ketimbang rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi: porsi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama lebih tinggi. Ini merupakan indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran penerima remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi.
B. Aturan TKI
Banyak sekali peraturan hukum positif yang menegaskan tentang eksistensi dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bahwa negara sangat berperan dalam pembudidayaan TKI di Indonesia. Seperti halnya, pengurusan negara terhadap TKI. Maka, secara emplisit negara telah menetapkan peraturan yang harus dijalan oleh seorang yang ingin menjadi TKI, yaitu sebagai berikut:
a. Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya.
b. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.
c. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
d. Negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia.
e. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional.
f. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.
g. Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
h. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan Undang-undang.
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Dari berbagai peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tentang pelaksanaan dan tanggung jawab TKI telah disebutkan dalan peraturan pemerintahan. Maka, secara otomatis seorang TKI harus patuh dan taat hukum di dalam negri maupun di luar Negri, agar asuransi dan perlengakapan persiapan Tki bisa berjalan sebagaimana mestinya.
C. Perlindungan pemerintah terhadap TKI
Perlindungan TKI
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Perlindungan TKI yaitu Segala upaya untuk melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dengan demikian, seluruh TKI yang bekerja di Iuar negeri wajib mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah, karena telah termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Selain itu PPTKIS juga mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada para calon TKI/ TKI.
A. Peran pemerintah dalam melindungi Tenaga Kerja Indonesia
Mengesampingkan berbagai kasus mengenai penganiayaan atas TKI yang sudah terjadi. Di Indonesia telah disusun dalam bentuk undang-undang yang memuat regulasi penempatan TKI. Sudah terdapat ketentuan yang jelas, meskipun fakta dilapangan masih terdapat berbagai pelanggaran. Adapun dilakukannya penempatan TKI keluar negeri merupakan upaya dalam menanggulangi minimnya lapangan kerja di Indonesia. Tujuan dari program tersebut adalah :
1. Upaya penanggulangan masalah pengangguran.
2. Melakukan pembinaan, perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada TKI dan Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
3. Peningkatan kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi.
4. Meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman kerja di luar negeri.
5. Bagi Negara, manfaat yang diterima adalah berupa peningkatan penerimaan devisa, karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta asing.
Namun dibalik tujuan dan manfaat yang didapatkan penempatan TKI ke luar negeri juga mempunyai efek negatif. Dengan adanya kasus kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKI baik sebelum, selama bekerja, maupun pada saat pulang ke daerah asal. Munculnya kepermukaan banyak masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Ketidakadilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), penempatan yang tidak sesuai standar gaji yang rendah karena tidak sesuai kontrak kerja yang disepakati, kekerasan oleh pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual, tenaga kerja yang illegal (illegal worker).
Hukum yang berlaku di daerah tujuan penenmpatan TKI yang kurang memberikan perlindungan. Hal ini sudah jelas terlihat dengan maraknya kasus penganiayaan yang terjadi terutama pada PRT. Ketika terjadi masalah para TKI harus mengadu dulu pada duta besar negara Indonesia atau ketika sudah disorot oleh media baru ada respon untuk melindungi hak mereka.
Hal yang selama ini dipertanyakan mengenai perjanjian tertulis antara Indonesia dengan negara tujuan karena banyaknya kasus penganiayaan yang masih terjadi. Hal tersebut ternyata telah diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing..
Padahal di dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:
Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.
Mengenai hak-hak para buruh migran Pasal 8 Undang-undang nomor 39 tahun 2004 menyatakan bahwa setiap calon TKW/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
1. bekerja di luar negeri;
2. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;
3. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;
4. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya;
5. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan;
6. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;
7. memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri;
8. memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal
B. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri
1) Hak-hak kewajiban pekerja
1. Hak-hak pekerja
Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukanatau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baikberupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukanatau statusnya.
Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut:
a. Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang-undang No. 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah)
b. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003)
c. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
d. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan lagi ( Pasal 9 – 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
e. Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek)
f. Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003)
2. Kewajiban pekerja
Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas,tenaga kerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan
b. Wajib mematuhi peraturan perusahaan;
c. Wajib mematuhi perjanjian kerja;
d. Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;
e. Wajib menjaga rahasia perusahaan;
f. Wajib mematuhi peraturan majikan;
g. Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding yang belum ada putusannya
2) Perlindungan norma kerja
Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja,mengaso, istirahat (cuti), lembur dan waktu kerja malam hari bagi pekerja wanita.
Pasal 77 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Waktu kerja meliputi :
a. 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
b. 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu pasal 78
Apabila melebihi waktu kerja sebagaimana yang ditentukan, harus memenuhi syarat
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu;
c. pengusaha wajib membayar upah kerja lembur Pasal 79 :
Waktu istirahat dan cuti meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu;
c. cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 haris kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus;
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-maisng 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 Tahun berturut-turut pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
D. Permasalahan TKI dan Solusinya
Permasalahan TKI
Beberapa permasalahan tenaga kerja seperti, keahlian terbatas, kurangnya kesempatan mendapat pekerjaan di Dalam Negeri, pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan bekerja di Dalam Negeri, ataupun keinginan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi, mestinya tidak boleh diremehkan tanpa mempertimbangkan kesiapan TKI yang akan dikirim. Data menunjukkan bahwa hampir 90% permasalahan yang dihadapi oleh TKI bersumber di Dalam Negeri. Pemalsuan identitas calon TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang kurang sesuai dengan pekerjaan, minimnya kemampuan berbahasa dan pengenalan budaya negara tujuan, buruknya informasi, pelayanan, dan perlakuan calon TKI dalam penempatan di Luar
Negeri dan sebagainya, menunjukkan bahwa kita tidak antisipatif dalam menata para calon TKI. Belum lagi masalah penipuan, kekerasan, perlakuan tidak adil terhadap calon TKI, memperburuk kinerja pemerintah, sehingga banyak calon TKI kita yang berangkat melalui jalur illegal. Kalaupun para TKI mengikuti mekanisme legal sebagaimana yang ditetapkan, para TKI harus membayar mahal diluar kepatutan oleh rangkaian birokrasi yang berbelit.
Solusi Masalah TKI
Pengaturan penempatan TKI di Luar Negeri diatur melalui UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang diperkuat melalui Instruksi Presiden RI (Inpres) No. 6 Tahun 2006. UU No. 39 Tahun 2004 Pasal 7 huruf e secara tegas telah menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan. Namun pada kenyataannya, terdapat berbagai ketidaksesuaian/penyimpangan dalam implementasinya.
Salah satu penyimpangan tersebut misalnya, aturan mengenai bahwa Calon TKI harus memperoleh kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja yang terakreditasi. Pada kenyataannya, banyak TKI yang tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang memadai, yang mengakibatkan mereka tidak memiliki kompetensi kerja yang memadai, tidak memahami adat istiadat setempat, serta tidak bisa berbahasa negara tujuan dengan baik. Terjadinya ketidaksesuaian/penyimpangan tersebut dapat memicu diajukannya gugatan, khususnya kepada Pemerintah RI baik di Pusat maupun Perwakilan RI di luar negeri.
Penyimpangan dan ketidaksesuaian yang sangat mendasar inilah yang mesti diperbaiki oleh Pemerintah agar penempatan TKI ke Luar Negeri menjadi lebih baik. Artinya, jika Pemerintah tidak mampu memenuhi hal ini, Pemerintah tidak perlu mengirim mereka atau melakukan moratorium bila perlu, sebab tidak sesuai dengan standar kualifikasi TKI yang dibutuhkan. Saya menggarisbawahi instruksi Presiden kepada Menakertrans agar dalam waktu 3 bulan, untuk melakukan kajian negara-negara tujuan TKI agar dapat diputuskan langkah-langkah berikutnya.
Pelaksanaan Kebijakan Nasional Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan TKI Ke Luar Negeri (P3TKI-LN) haruslah bersifat menyeluruh dan terintergrasi. Hal ini dapat diwujudkan melalui komitmen nasional untuk melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizontal dengan proporsi peran dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kejelasan proporsi dan tanggung jawab tersebut perlu dijalin dalam rangka kemitraan karena ketika TKI berangkat dan bekerja di luar negeri menyandang harkat dan martabat bangsa, negara, dan Pemerintahan Indonesia di dunia internasional.
Perubahan atas UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah menjadi prioritas pembahasan tahun 2011. Perubahan atas UU tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan atas peningkatan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI oleh pemerintah. Selain itu, dalam perubahan tersebut diharapkan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara BNP2TKI yang saat ini berperan sebagai operator dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai regulator dalam mengelola supply dan demand pasar kerja luar negeri.
Dengan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI yang menyeluruh dan terintegrasi, penegakan hukum yang kuat dan transparan, serta pengelolaan pasar kerja luar negeri yang terencana, maka kerugian sosial yang ditimbulkan dapat diminimalisasi sekecil mungkin sehingga pelayanan penempatan dan perlindungan TKI dapat berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penerimaan devisa negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).
B. Saran
Demikian makalah yang saya buat guna untuk memenuhi tugas, pemakalah sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu pemakalah membutuhkan kritik dan saran yang mendukung guna untuk menujang makalah pembuatan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Supianto, perlindungan negara terhadap tenaga kerja indonesia,naringgul:2011
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Jurnal Hukum, No. 7 Vol. 4 Tahun 1997
Darwan Prints, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
http://elfatsani.blogspot.com/2009/04/perlindungan-hukum-bagi-buruh-migran.html diakses
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Pada sisi lain seperti yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa untuk menggambarkan masyarakat Indonesia tidak ada yang lebih bagus dan tepat selain dengan mengatakan bahwa masyarakat itu sedang berubah secara cepat dan cukup mendasar. Indonesia adalah masyarakat yang tengah mengalami transformasi struktural yaitu dari masyarakat yang berbasis pertanian ke basisindustri. Perubahan tersebut mengalami akselerasi, yaitu sejak penggunaan teknologi makin menjadi modus andalan untuk menyelesaikan permasalahan
Kebijakan dan program pemerintah mengenai penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri merupakan salah satu solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran di tanah air, dengan memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri, TKI tidak saja mendapatkan penghasilan yang cukup besar, tetapi juga ikut menyumbang devisa bagi negara Indonesia.Banyak TKI yang sudah berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang pada mulanya ingin bekerja untuk membebaskan diri dan keluarganya dari jeratan kemiskinan mengalami penganiayaan dan perkosaan oleh majikan dan tindakan tidak semena-mena oleh sebagian perusahaan jasa tenaga kerja swasta (Hugo, 2002).
Bermula dari adanya persoalan yang menimpa para TKI seperti mendapat perlakuan yang kasar atau tidak manusiawi tetapi sebagian besar dari mereka juga banyak yang mendapat perlakuan baik dan sewajarnya. Disisi lain, seperti tidak diberi upah, dipukuli, diperkosa, disiram air panas, diseterika bagian tubuhnya, tidak diberi makan, dikurung dalam gudang dan lain-lain. Perlakuandiatas merupakan sebagian dari pelanggaran terhadap hak-hak TKI yang terjadi di luar negeri. Kurangnya informasi yang diperoleh calon TKI atau TKI yang bekerja di luar negeri banyak dikeluhkan oleh TKI dalam hubungannya dengan pelayanan dan penempatan TKI.
Minimnya akses informasi calon TKI dan TKI cenderung menimbulkan sikap pasif dan menerima perlakuan perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan majikannya karena mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Kemiskinan, kebodohan dan kekurangan informasi memang dapat menyesatkan. Akses informasi calon TKI dan TKI cenderung menimbulkan sikap pasif dan menerima perlakuan perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan majikannya karena mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Kemiskinan, kebodohan dan kekurangan informasi memang dapat menyesatkan. Akses informasi tidak diberikan, yang dibutuhkan buruh migran akses informasi.
Banyak TKI tidak dapat akses untuk mendapatkan informasi seperti upah dan yang lain-lainnya, aspek penyebaran informasi yang masih terbatas juga memberi pengaruh terhadap penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Banyak akses masalah yang terjadi akibat tidak memadainya penyediaan dan penyebaran informas ikepada masyarakat. Kurangnya informasi yang diterima calon TKI dan TKI karena pemerintah yang bertugas dalam pelayanan dan penempatan TKI belum optimal dalam memberikan informasi kepada mereka. Berbagai keluhan yang disebabkan oleh kurangnya akses dan fasilitas pelayanan informasi sebaiknya dapat dikurangi, apabila pemerintah semakin intensif dalam menyampaikan informasi hingga menjangkau tiap calon TKI dan TKI. Oleh karena itu, aspek pelayanan informasi merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkanpemahaman calon TKI dan TKI terutama.
Mengenai informasi hak dan kewajibannya.Informasi ini berguna untuk memberdayakan TKI sehingga mereka tidak mudah percaya kepadasponsor, calo, taikong atau perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan berani menolak tindakan sewenang-wenang majikan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya
sebagai TKI.
B. Rumusan Masalah
1. Fungsi dan peran TKI
2. Aturan TKI
3. Perlindungan pemerintah terhadap TKI
4. Permasalahan TKI dan solusinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi dan Peran TKI
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ternyata mempunyai peranan penting untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia yang saat ini sedang memanas.
Hal ini diungkapkan oleh M. Cholily, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur, yang ditemui pada hari Minggu (05/09) kemarin. “Pemerintah Malaysia diuntungkan dengan adanya TKI, Pemerintah Indonesia juga diuntungkan dengan devisa dari TKI,” jelasnya.
Menurutnya, Pemerintah Malaysia juga dipengaruhi oleh banyaknya TKI yang bekerja di sektor formal dan informal, sehingga penarikan secara massal TKI dari Malaysia dapat merugikan Negara Jiran tersebut. Belum lagi jika para TKI tersebut dipulangkan ke Indonesia, Pemerintah Indonesia juga harus menyediakan lapangan pekerjaan pengganti para TKI tersebut yang jumlahnya sekitar 2 juta jiwa. “Sebenarnya Indonesia dan Malaysia membutuhkan TKI, sehingga kedua negara seharusnya memberikan perhatian yang serius kepada buruh migran itu,” ucapnya.
Cholily mengatakan bahwa hubungan Indonesia dan Malaysia yang memanas bisa saja mempengaruhi kondisi psikologis dari para TKI. Bisa saja para majikan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap para TKI karena memanasnya hubungan antara Indonesia dan Malaysia. “Ada kemungkinan para majikan melakukan tindakan sewenang-wenang kepada TKI yang menjadi pembantu rumah tangga karena ketegangan kedua negara itu, sehingga hal itu merugikan TKI” katanya.
Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).
Hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Ini adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang tentu saja tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias ilegal. Diketahui, jumlah TKI ilegal cukup besar (khususnya di Malaysia). Hingga saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI ilegal diperkirakan mencapai 2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di negara tersebut (Sukamdi, 2008).
Sayangnya, sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor informal. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT). Hasil studi yang dilakukan Suhariyanto et al. dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwa sekitar 76 persen TKI adalah perempuan.
Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, mereka berperan penting bagi perekonomian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab mereka digelari sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2009, jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77 miliar dollar AS (BI dan BNP2TKI).
Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya yang diterima dari para TKI. Pasalnya, selama ini belum ada sistem yang memadai terkait penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Secara sederhana, selama ini remitansi dihitung dari semua residual pada neraca pembayaran (balance of payment).
Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi karena dikirim melalui berbagai saluran tidak resmi. Sebagai contoh, Survei Remitansi Nasional yang dilakukan Bank Indonesia mengungkap fakta bahwa di Nunukan, Kalimantan Timur, hanya 30 persen TKI yang mengirimkan uangnya ke tanah air dengan menggunakan saluran resmi atau bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang mereka melalui karabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.
Potensi besar
Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Karena itu, peran remitansi dari para TKI cukup besar bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil studi yang dilakukan oleh Suhariyanto et al. juga menemukan bahwa sebagian besar sumber pendapatan rumah tangga migran, yakni rumah tangga dengan minimal satu anggota rumah tangga bekerja sebagai TKI, berasal dari remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap total pendapatan yang diterima oleh rumah tangga.
Hasil studi juga menunjukkan, pola pengeluaran (expenditure pattern) rumah tangga migran yang menerima remitansi lebih baik ketimbang rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi: porsi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama lebih tinggi. Ini merupakan indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran penerima remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi.
B. Aturan TKI
Banyak sekali peraturan hukum positif yang menegaskan tentang eksistensi dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bahwa negara sangat berperan dalam pembudidayaan TKI di Indonesia. Seperti halnya, pengurusan negara terhadap TKI. Maka, secara emplisit negara telah menetapkan peraturan yang harus dijalan oleh seorang yang ingin menjadi TKI, yaitu sebagai berikut:
a. Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya.
b. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.
c. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
d. Negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia.
e. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional.
f. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.
g. Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
h. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan Undang-undang.
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Dari berbagai peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tentang pelaksanaan dan tanggung jawab TKI telah disebutkan dalan peraturan pemerintahan. Maka, secara otomatis seorang TKI harus patuh dan taat hukum di dalam negri maupun di luar Negri, agar asuransi dan perlengakapan persiapan Tki bisa berjalan sebagaimana mestinya.
C. Perlindungan pemerintah terhadap TKI
Perlindungan TKI
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Perlindungan TKI yaitu Segala upaya untuk melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dengan demikian, seluruh TKI yang bekerja di Iuar negeri wajib mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah, karena telah termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Selain itu PPTKIS juga mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada para calon TKI/ TKI.
A. Peran pemerintah dalam melindungi Tenaga Kerja Indonesia
Mengesampingkan berbagai kasus mengenai penganiayaan atas TKI yang sudah terjadi. Di Indonesia telah disusun dalam bentuk undang-undang yang memuat regulasi penempatan TKI. Sudah terdapat ketentuan yang jelas, meskipun fakta dilapangan masih terdapat berbagai pelanggaran. Adapun dilakukannya penempatan TKI keluar negeri merupakan upaya dalam menanggulangi minimnya lapangan kerja di Indonesia. Tujuan dari program tersebut adalah :
1. Upaya penanggulangan masalah pengangguran.
2. Melakukan pembinaan, perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada TKI dan Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
3. Peningkatan kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi.
4. Meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman kerja di luar negeri.
5. Bagi Negara, manfaat yang diterima adalah berupa peningkatan penerimaan devisa, karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta asing.
Namun dibalik tujuan dan manfaat yang didapatkan penempatan TKI ke luar negeri juga mempunyai efek negatif. Dengan adanya kasus kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKI baik sebelum, selama bekerja, maupun pada saat pulang ke daerah asal. Munculnya kepermukaan banyak masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Ketidakadilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), penempatan yang tidak sesuai standar gaji yang rendah karena tidak sesuai kontrak kerja yang disepakati, kekerasan oleh pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual, tenaga kerja yang illegal (illegal worker).
Hukum yang berlaku di daerah tujuan penenmpatan TKI yang kurang memberikan perlindungan. Hal ini sudah jelas terlihat dengan maraknya kasus penganiayaan yang terjadi terutama pada PRT. Ketika terjadi masalah para TKI harus mengadu dulu pada duta besar negara Indonesia atau ketika sudah disorot oleh media baru ada respon untuk melindungi hak mereka.
Hal yang selama ini dipertanyakan mengenai perjanjian tertulis antara Indonesia dengan negara tujuan karena banyaknya kasus penganiayaan yang masih terjadi. Hal tersebut ternyata telah diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing..
Padahal di dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:
Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.
Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.
Mengenai hak-hak para buruh migran Pasal 8 Undang-undang nomor 39 tahun 2004 menyatakan bahwa setiap calon TKW/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
1. bekerja di luar negeri;
2. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;
3. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;
4. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya;
5. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan;
6. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;
7. memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri;
8. memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal
B. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri
1) Hak-hak kewajiban pekerja
1. Hak-hak pekerja
Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukanatau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baikberupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukanatau statusnya.
Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut:
a. Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang-undang No. 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah)
b. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-undang No. 13 Tahun 2003)
c. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
d. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan keterampilan lagi ( Pasal 9 – 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
e. Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek)
f. Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003)
2. Kewajiban pekerja
Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas,tenaga kerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan
b. Wajib mematuhi peraturan perusahaan;
c. Wajib mematuhi perjanjian kerja;
d. Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;
e. Wajib menjaga rahasia perusahaan;
f. Wajib mematuhi peraturan majikan;
g. Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding yang belum ada putusannya
2) Perlindungan norma kerja
Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja,mengaso, istirahat (cuti), lembur dan waktu kerja malam hari bagi pekerja wanita.
Pasal 77 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Waktu kerja meliputi :
a. 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
b. 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu pasal 78
Apabila melebihi waktu kerja sebagaimana yang ditentukan, harus memenuhi syarat
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu;
c. pengusaha wajib membayar upah kerja lembur Pasal 79 :
Waktu istirahat dan cuti meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu;
c. cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 haris kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus;
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-maisng 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 Tahun berturut-turut pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
D. Permasalahan TKI dan Solusinya
Permasalahan TKI
Beberapa permasalahan tenaga kerja seperti, keahlian terbatas, kurangnya kesempatan mendapat pekerjaan di Dalam Negeri, pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan bekerja di Dalam Negeri, ataupun keinginan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi, mestinya tidak boleh diremehkan tanpa mempertimbangkan kesiapan TKI yang akan dikirim. Data menunjukkan bahwa hampir 90% permasalahan yang dihadapi oleh TKI bersumber di Dalam Negeri. Pemalsuan identitas calon TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang kurang sesuai dengan pekerjaan, minimnya kemampuan berbahasa dan pengenalan budaya negara tujuan, buruknya informasi, pelayanan, dan perlakuan calon TKI dalam penempatan di Luar
Negeri dan sebagainya, menunjukkan bahwa kita tidak antisipatif dalam menata para calon TKI. Belum lagi masalah penipuan, kekerasan, perlakuan tidak adil terhadap calon TKI, memperburuk kinerja pemerintah, sehingga banyak calon TKI kita yang berangkat melalui jalur illegal. Kalaupun para TKI mengikuti mekanisme legal sebagaimana yang ditetapkan, para TKI harus membayar mahal diluar kepatutan oleh rangkaian birokrasi yang berbelit.
Solusi Masalah TKI
Pengaturan penempatan TKI di Luar Negeri diatur melalui UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang diperkuat melalui Instruksi Presiden RI (Inpres) No. 6 Tahun 2006. UU No. 39 Tahun 2004 Pasal 7 huruf e secara tegas telah menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan. Namun pada kenyataannya, terdapat berbagai ketidaksesuaian/penyimpangan dalam implementasinya.
Salah satu penyimpangan tersebut misalnya, aturan mengenai bahwa Calon TKI harus memperoleh kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja yang terakreditasi. Pada kenyataannya, banyak TKI yang tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang memadai, yang mengakibatkan mereka tidak memiliki kompetensi kerja yang memadai, tidak memahami adat istiadat setempat, serta tidak bisa berbahasa negara tujuan dengan baik. Terjadinya ketidaksesuaian/penyimpangan tersebut dapat memicu diajukannya gugatan, khususnya kepada Pemerintah RI baik di Pusat maupun Perwakilan RI di luar negeri.
Penyimpangan dan ketidaksesuaian yang sangat mendasar inilah yang mesti diperbaiki oleh Pemerintah agar penempatan TKI ke Luar Negeri menjadi lebih baik. Artinya, jika Pemerintah tidak mampu memenuhi hal ini, Pemerintah tidak perlu mengirim mereka atau melakukan moratorium bila perlu, sebab tidak sesuai dengan standar kualifikasi TKI yang dibutuhkan. Saya menggarisbawahi instruksi Presiden kepada Menakertrans agar dalam waktu 3 bulan, untuk melakukan kajian negara-negara tujuan TKI agar dapat diputuskan langkah-langkah berikutnya.
Pelaksanaan Kebijakan Nasional Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan TKI Ke Luar Negeri (P3TKI-LN) haruslah bersifat menyeluruh dan terintergrasi. Hal ini dapat diwujudkan melalui komitmen nasional untuk melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizontal dengan proporsi peran dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kejelasan proporsi dan tanggung jawab tersebut perlu dijalin dalam rangka kemitraan karena ketika TKI berangkat dan bekerja di luar negeri menyandang harkat dan martabat bangsa, negara, dan Pemerintahan Indonesia di dunia internasional.
Perubahan atas UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah menjadi prioritas pembahasan tahun 2011. Perubahan atas UU tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan atas peningkatan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI oleh pemerintah. Selain itu, dalam perubahan tersebut diharapkan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara BNP2TKI yang saat ini berperan sebagai operator dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai regulator dalam mengelola supply dan demand pasar kerja luar negeri.
Dengan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI yang menyeluruh dan terintegrasi, penegakan hukum yang kuat dan transparan, serta pengelolaan pasar kerja luar negeri yang terencana, maka kerugian sosial yang ditimbulkan dapat diminimalisasi sekecil mungkin sehingga pelayanan penempatan dan perlindungan TKI dapat berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penerimaan devisa negara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).
B. Saran
Demikian makalah yang saya buat guna untuk memenuhi tugas, pemakalah sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu pemakalah membutuhkan kritik dan saran yang mendukung guna untuk menujang makalah pembuatan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Supianto, perlindungan negara terhadap tenaga kerja indonesia,naringgul:2011
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Jurnal Hukum, No. 7 Vol. 4 Tahun 1997
Darwan Prints, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
http://elfatsani.blogspot.com/2009/04/perlindungan-hukum-bagi-buruh-migran.html diakses
sumber : http://mubarrokluthfi.blogspot.com