Tahun 1998 Mistar adalah pemuda gamang yang baru lulus diploma tiga
Jurusan Tata Niaga, Akademi Maritim Belawan, Sumatera Utara. Krisis
ekonomi di dalam negeri membuat dia memutuskan bekerja di Malaysia
sebagai tenaga kerja Indonesia atau TKI. Kini, Mistar
dikenal sebagai pengusaha roti dengan 70 karyawan yang bergantung pada
usahanya itu. Usaha roti berlabel Family milik Mistar terletak di Dusun
V, Pasar I, Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat,
Sumut. Rumah sekaligus pabrik rotinya itu dipenuhi dengan tumpukan kayu
bakar dan berkarung-karung roti kering retur.
”Sebenarnya banyak mantan TKI yang berhasil. Beberapa teman saya dulu juga sudah membuka usaha sendiri dan maju,” tutur Mistar, bapak dua anak itu, merendah.
Selepas menyelesaikan program D-3, Mistar mengaku bingung mau bekerja
apa dan di mana. Apalagi saat itu tahun 1998, Indonesia tengah dilanda
krisis moneter dan banyak karyawan yang justru terkena pemutusan
hubungan kerja, termasuk sang ayah, Muhammad Sari, dan pakciknya,
Suryadi.
Mereka semula bekerja di sebuah pabrik roti di Tanjungpura. Toko roti
itu tutup. Sang ayah lalu membuka kedai kebutuhan pokok di rumah mereka
yang berbatasan dengan kebun kelapa sawit PTPN II Tanjung Beringin,
sedangkan Suryadi bekerja mocok-mocok pada orang lain. ”Saya sempat mau
bekerja di pabrik elektronik di Tanjung Morawa,” kata Mistar.
Namun, saat dia hendak mengikuti pelatihan ke Jakarta, tes kesehatannya
tidak memenuhi syarat. Maka, Mistar pun kembali ke rumah. Tahun 1999,
dia memutuskan mendaftarkan diri menjadi TKI ke Malaysia.
Motivasi kerjanya sejak awal memang tidak semata-mata untuk mendapatkan
pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih guna mengumpulkan modal untuk
membuka usaha di kampungnya sendiri. ”Banyak anggota keluarga kami yang
tidak punya pekerjaan. Saya juga tidak pernah berpikir untuk menjadi
pegawai negeri sipil atau tentara,” kata Mistar.
Negeri Sembilan
Mistar kemudian diterima bekerja di pabrik tekstil di Negeri Sembilan,
Malaysia. Ketika itu dia mendapat gaji pokok sebesar 430 ringgit per
bulan. Namun, pada praktiknya dalam sebulan ia bisa menerima sampai
1.000 ringgit karena banyak kerja lembur.
Dia bercerita, banyak temannya sesama TKI yang menggunakan uang
hasil kerja di Malaysia itu untuk membeli tanah atau membangun rumah.
Namun, setelah kembali ke Tanah Air mereka justru tidak mempunyai
pekerjaan. Kondisi seperti itu menambah motivasi Mistar untuk membuka
usaha sendiri. ”Rencana saya itu cuma dua tahun bekerja di Malaysia,
tetapi uangnya belum terkumpul cukup. Jadinya selama tiga tahun saya
menjadi TKI di sana,” katanya.
Mistar mengenang, sekitar delapan bulan sebelum kembali ke kampung
halaman pada 2002, dia mengirimkan uang Rp 20 juta kepada sang bapak.
Uang itu digunakan oleh ayah dan pakciknya untuk modal membuka usaha
roti yang kemudian diberi merek Family.
Pilihan usaha roti diputuskan karena pakciknya memang ahli dalam
pembuatan roti. Sejak tahun 1970-an, Pakcik Suryadi bekerja pada seorang
pengusaha roti keturunan Tionghoa.
”Dulu, kami ini memang keluarga kuli (pabrik) roti. Kebetulan juga saat
itu bahan baku pembuatan roti bisa diutang pada toko bahan pokok di
Tanjungpura. Minggu ini kami ambil bahan untuk roti, satu minggu
kemudian baru dibayar,” ceritanya.
Mistar memilih nama Family untuk produk rotinya karena para pekerja
dalam usaha ini adalah anggota keluarga besarnya. ”Mulai dari pakcik,
bapak, sampai tiga adik saya, semuanya terlibat dalam usaha roti ini,”
kata Mistar yang produk rotinya menyasar konsumen kelas menengah-bawah
dengan harga eceran rata-rata Rp 500 per buah.
Pinjam bank syariah
Uang hasil kerja Mistar sebagai TKI di Malaysia relatif habis
digunakan untuk membeli peralatan pembuatan roti dan membuat bangunan
berdinding anyaman bambu berlantai semen di belakang rumah orangtuanya.
Di sini ada tungku besar dari bata dengan bahan bakar kayu. Ada pula
mesin penggilas adonan dari besi yang ditempa sendiri. Ongkos pembuatan
mesin penggilas adonan dengan bantuan bengkel las itu sekitar Rp 2,5
juta. Alat serupa ini bila dibeli di toko bisa sampai Rp 6 juta.
Mistar juga membangun ruangan penguapan kue. Ruang seluas sekitar 2 x 2
meter itu beratap rendah dan ditutup gorden. Uapnya berasal dari dua
kompor yang terus mendidihkan panci berisi air. Uap air dari panci itu
yang membuat suhu udara di kamar penguapan itu selalu hangat.
Pelan-pelan usaha roti Family terus berkembang. Mistar pun memberanikan diri menambah modal dengan meminjam dari bank.
”Namun, baru setelah usaha berjalan kami pinjam uang ke bank. Kami
pinjam Rp 50 juta dari Bank Sumut Syariah,” cerita Mistar. Selain itu,
dia juga punya pinjaman Rp 10 juta pada Lembaga Peningkatan dan
Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (LP2KM).
Karyawan bertambah
Waktu baru membuka usaha pada 2002, produksi roti Family membutuhkan
lima hingga enam karung terigu setiap hari dengan jumlah karyawan di
bagian produksi 10 orang. Kini, ia membutuhkan sedikitnya 15 karung
terigu per hari dengan jumlah karyawan 70 orang.
Dari jumlah karyawan itu, 25 orang bekerja di bidang produksi dan 25
orang lainnya menjadi tenaga pemasaran yang membawa roti Family ke
sejumlah warung di Langkat, Binjai, Serdang Bedagai, Deli Serdang,
hingga Aceh Timur. Adapun 20 orang adalah pekerja lepas untuk
pembungkusan roti.
Pekerja produksi digaji Rp 20.000-Rp 40.000 per hari, sedangkan tenaga pemasaran dibayar berdasar bagi hasil penjualan.
Mistar juga menampung pemasaran untuk tiga produsen roti kering di
dusunnya. Salah satu di antara produsen roti kering milik Tina Melinda
(32), sesama mantan TKI di Malaysia yang mempunyai 26 karyawan.
Untuk meningkatkan kualitas produk, setiap tiga bulan sekali petugas
dari dinas kesehatan datang untuk mengecek kualitas pangan produksinya.
”Saya banyak dibantu BP3TKI (Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI) mengikuti pelatihan. Para mantan TKI
juga sering bikin pertemuan di sini,” kata Mistar tentang mereka yang
datang ke Desa Tanjung Beringin untuk studi banding, termasuk dari
Bandung, Jawa Barat.
Meski telah tujuh tahun menjadi juragan roti, Mistar belum pernah
melihat pabrik roti modern, apalagi punya jaringan dalam industri pangan
nasional. Namun, setidaknya sebagai mantan TKI, dia bisa membuka peluang kerja bagi banyak orang di kampungnya.
Mistar berharap, siapa pun yang kelak menjadi presiden di negeri ini,
perekonomian Indonesia bisa stabil. Ini penting baginya agar usaha roti
yang menghidupi puluhan keluarga di desanya itu bisa terus berkembang.
Sumber : female.kompas.com