Bambang Isyanto; Sosok TKI Sukses di Brunei Darussalam

Bambang Isyanto tergolong tenaga kerja asal Indonesia sukses di Brunei Darussalam. Dia mengelola puluhan hektar kebun sayur yang hasilnya dipasok ke berbagai pasar tradisional dan swalayan di Bandar Seri Begawan. Perlu perjuangan berat untuk bisa seperti sekarang. Bagaimana ceritanya?
HERIYANTO, Bandar Seri Begawan

PEKERJA keras dan pantang menyerah. Itulah sosok Bambang Isyanto, 40 tahun, warga Indonesia yang kini menetap di Brunei Darussalam. Dengan berbekal dua hal itu, Bambang mampu menaklukkan Brunei Darussalam. Saya bertandang rumah Bambang di Kampung Pangkalan Batu, Brunei Darussalam pekan lalu. Di rumah bertingkat dua itu Bambang tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Ini rumah yang cukup besar. Dari depan, rumah ini terlihat mentereng. Di halaman rumah terparkir sejumlah mobil milik Bambang. “Butuh perjuangan sangat berat untuk bisa sampai seperti ini,” kata Bambang saat berbincang di rumahnya itu.

Bambang berangkat ke Brunei pada tahun 2000. Saat itu, usai menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak seseorang menawarinya untuk bekerja di Brunei Darussalam. Tugasnya membina para petani di negara itu.

Sebagai lulusan sarjana pertanian, tak ada alasan bagi Bambang untuk menolak tawaran itu. Apalagi, dia ditawari gaji yang sangat tinggi. Sudah terbayang di benak Bambang akan suasana yang nyaman di negeri orang. Apalagi dia bisa mempraktekkan ilmu yang telah ditimbanya selama beberapa tahun di kampus. 

Tetapi sesampai di Brunei, bukannya mendapat gaji yang tinggi, Bambang justru terlantar. Semua yang dibayangkannya buyar. “Saya kena tipu. Diiming-imingi gaji besar, rupanya sampai di sini ditaruh di hutan, tidak diberi makan. Saya disuruh garap ladang, tapi masih hutan,” kata Bambang mengingat saat awal merantau ke Brunei.

Saat itu ada dua orang yang berangkat bersamanya dari Pontianak. Sama seperti Bambang dua temannya itu juga ditawari untuk membimbing para petani di Brunei. Tapi karena tak tahan, dua rekannya itu memutuskan pulang ke Pontianak. Sementara Bambang nekad bertahan di Brunei. “Sudah kepalang tanggung. Malu kalau pulang ke Pontianak,” kata Bambang.

Selama dua tahun, Bambang tinggal di sebuah gubuk di ladang garapannya. Sehari hanya makan sekali. Itupun makan nasi yang keras dan mi instan yang sudah kedaluwarsa. Meski begitu Bambang tetap bertahan. Beruntung Bambang ditolong seorang warga Sabah, Malaysiayang meminjaminya uang untuk bertahan hidup.

Setelah  dua tahun lahan garapannya mulai menunjukkan hasil. Bambang sudah mulai memanen hasil tanamannya. Hasil panennya itu dijual ke sejumlah pasar di Bandar Seri Begawan. Tapi perjuangannya tidak sampai di situ. Bukannya memberi gaji, bos pemilik lahan itu justru meminta jatah dari penjualan sayur mayur.

Sempat putus asa, Bambang memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Tapi sebelum pulang, seorang warga Brunei yang mengenal Bambang, menawari Bambang untuk menikahi anaknya. Orangtua itu mengenal Bambang sebagai sosok pria yang ulet dan rajin. Karena itu dia tertarik menjodohkan Bambang dengan anaknya. Saat itu Bambang sempat menolak dengan alasan dia hendak pulang ke Indonesia.

“Saya dipertemukan dengan gadis itu. Dia orang sini (Brunei). Saya bilang ndak mau, saya mau balik ke Indonesia. Cari saja orang Brunei, kata saya. Dia bilang sudah cari orang Brunei tapi tidak sesuai dengan hati,” cerita Bambang.

Akhirnya setelah mempertimbangkan masak-masak, Bambang bersedia menikahi gadis itu. Namanya Fatimah Binti Haji Besar, seorang gadis solehah yang berpendidikan tinggi. Sejak itulah Bambang menetap di Brunei Darussalam. Dari hasil pernikahan itu, Bambang dikaruniai lima anak, yakni Hessa, Azziyati, Wafig, Nusaibah, dan Afifah.

Bambang diserahi tugas untuk mengelola kebun sayur milik mertuanya. Dengan sungguh-sungguh Bambang menggarap lahan itu sehingga kemudian menghasilkan panen yang melimpah. Saat ini ada puluhan hektar lahan yang digarapnya. Ada berbagai jenis sayuran di sana, mulai dari kangkung, cabai, kacang panjang, pisang, lengkuas, hingga mentimun. Dari kebun itu ratusan kilogram sayuran dihasilkan setiap harinya. Sayuran itu didistribusikan ke sejumlah pasar dan swalayan di Bandar Seri Begawan.

Dari hasil panen sayur itu Bambang mampu membeli beberapa mobil dan membangun rumah. Saat saya mengunjungi rumahnya pekan lalu, sejumlah mobil tampak parkir di depan rumahnya. Dua diantaranya Pajero dan Lexus. Saat berangkat ngantor ke kebun sayurnya, Bambang kerap menggunakan mobil mewah itu. Mobil itu juga kerap digunakan untuk mengangkut hasil panen sayurnya. Mobil itu memang tangguh untuk mengangkut beban berat. Sementara itu, mobil Lexus miliknya biasa dipakai untuk mengantar atau menjemput anak-anaknya.

Bambang merasa bersyukur diberi rezeki yang cukup. “Sejak kecil saya sudah berjuang sendiri. Berat hidup saya. Saya merasa belum ada orang yang pernah hidup sesusah saya. Sekarang Alhamdulillah. Allah berikan kemudahan,” kata anak kedua dari tujuh bersaudara itu.

Kini, Bambang punya lima anak buah yang membantunya menggarap kebun sayur. Selama ini sudah puluhan orang dari Indonesia yang bekerja padanya. Banyak yang sudah berhasil dan pulang ke kampung halaman. Sudah banyak yang mampu membuat rumah dan menyekolahkan anak. “Saya bersyukur bisa membantu orang lain,” kata pria kelahiran Malang, Jawa Timur itu. 

Meski memiliki istri warga Brunei, Bambang masih berstatus warga negara Indonesia. Saat ini dia memang belum bisa mengajukan status sebagai warga negara Brunei. “Di sini harus tinggal belasan tahun baru bisa jadi warga negara Brunei,” tambahnya. Bambang masih belum memutuskan apakah akan selamanya tinggal di Brunei atau suatu saat memboyong keluarganya ke Indonesia. “Yang penting saat ini saya jalani saja hidup. Semoga semuanya baik-baik saja,” katanya. (*)