Kita sudah bosan mendengar cerita tentang TKI, tenaga kerja Indonesia, yang dianiaya majikan di Malaysia. Disetrika. Dideportasi. Terlibat kasus kejahatan. TKI yang dilecehkan sebagai Indon yang bodoh di Malaysia.
Syukurlah, saat berlibur ke Nusa Tenggara Timur, tepatnya Kabupaten Lembata, saya mendengar versi yang lain tentang TKI. Bukan sekadar cerita, tapi bukti nyata. Bahwa TKI kita pun ada yang sukses di Malaysia. Dan yang bercerita itu Frans Asan Hurek.
Begitu antusiasnya Frans bercerita dilengkapi foto-foto dari perangkat gadget-nya, Samsung versi baru. "Di Malaysia sedang tren," kata teman yang jago bicara itu.
Bertahun-tahun si Frans ini sempat hilang dari peredaran bagaikan ditelan bumi. Dan, seperti biasa, banyak tuturan yang tidak jelas yang dikembangkan orang di Ileape, Lembata. Ceritanya seram-seram meski sumbernya tidak jelas.
Hingga suatu ketika Frans 'yang hilang' di Sabah, Malaysia, itu pulang berlibur di kampung. Bawa istri yang cantik, yang gayanya khas wanita kota di Lahad Datu, Malaysia Timur, plus anak yang gizinya bagus. Berbeda dengan TKI-TKI lain yang naik kapal laut, Frans selalu pakai pesawat.
Tinggal sebulan di kampung halaman, Desa Napasabok, Kecamatan Ileape, Lembata, NTT, bertemu ibunda yang sudah tua, Frans juga melakukan survei. Bikin desain rumah yang megah layaknya orang kaya di kota. Kembali ke Kota Lahad Datu, Frans secara teratur mengirim material dan uang yang diperlukan untuk bikin rumah mewahnya.
Sekarang rumah itu sudah jadi. Bentuknya rada nyeleneh, eksperimental, layaknya seniman yang kelebihan uang. Yah, Frans Hurek ini memang lagi mandi ringgit berkat usaha konstruksi kelapa sawit.
Dia dapat banyak job membuat pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit di Lahad Datu dan beberapa kawasan di negara bagian Sabah. Juga bikin instalasi air bersih untuk pekerja di kebun-kebun sawit. Dengan bangga Frans menunjukkan kepada saya mesin-mesin pengolah sawit yang rumit.
"Saya ini orang konstruksyen. Setiap hari saya keliling untuk melihat saya punya proyek di mana-mana tempat lah," ujar Frans dalam logat campuran Lembata + Malaysia Timur.
Malaysia Timur sejak dulu dikenal sebagai wilayah yang berjaya berkat kelapa sawit, karet, dan komoditas perkebunan. Maka, saya bisa membayangkan betapa banyaknya konstruksyen (konstruksi) yang harus digarap pengusaha TKI macam si Frans ini. Sungai Ringgit tentu mengalir deras ke kantongnya.
Karena itu, saya akhirnya percaya dengan begitu banyak cerita petulangannya ke tempat wisata yang mahal. Sekali makan bersama istri dan anak bisa habis Rp 2 juta. Ongkos perahu motor ke Pulau Komodo yang jutaan rupiah pun dianggap uang recehan saja.
Wow, Frans Asan Hurek, TKI yang unik! Malam itu mata saya sudah berat. Tapi presentasi Frans dan cerita suksesnya membuat saya terbelalak Saya biarkan dia cerita sepuas hati. Apalagi sudah beberapa tahun teman, sesama marga Hurek, ini tak pernah. berjumpa.
Frans punya kebanggaan sendiri karena sekarang dia sudah punya semacam monumen di kampung halaman. Yakni sebuah rumah bergaya kelas atas, mewah untuk ukuran Flores, yang bisa dilihat setiap waktu. Itu menjadi bukti bahwa TKI di Malaysia pun ternyata bisa berhasil.
Bukan TKI ala Flores Timur dan Lembata yang pulang sekejap, ringgit habis sebulan, kemudian balik lagi ke Malaysia Timur. Dan tak pernah kembali lagi ke kampung. Hingga akhirnya kita dapat kabar bahwa si X sudah meninggal dunia.
Frans malah secara tegas mengecam TKI-TKI yang lupa kampung halamannya. Jumlahnya cukup banyak. Mereka malah kerap lupa bahasa daerah. Bergaya layaknya orang Malaysia. "Saya paling jengkel dengan orang seperti itu," ujar Frans seraya menyebut beberapa nama teman SD di kampung dulu.
Lantas, bagaimana Frans bisa mandi ringgit, sementara TKI-TKI lain biasa-biasa saja, bahkan terpuruk?
Jawabnya: kerja keras, kerja cerdas, dan nasib baik.
Frans beruntung dapat jodoh seorang wanita cantik, pengusaha, warga negara Malaysia. Bisnis sudah menjadi darah daging istrinya. Beristrikan wanita tempatan berarti sama dengan dapat lisensi untuk buka usaha apa saja. Samalah dengan warga negara Malaysia.
Selama belasan tahun Frans menjadi pekerja pabrik kelapa sawit. Bekal ilmu dari SMK terkenal di Flores Timur membuat dia sangat menguasai cara kerja mesin-mesin pengolahan minyak kelapa sawit. Teknik pasang instalasi, filter, dan sebagainya dia kuasai secara sempurna.
"Tapi saya ditipu si tauke. Gaji saya tidak dibayar," tuturnya.
Kecewa berat, Frans kemudian belajar membuka usaha konstruksi pabrik sawit dari nol. Fotonya diperlihatkan kepada saya. Awalnya sih susah mencari order. Tapi perlahan-lahan orang Malaysia Timur mulai menggunakan jasanya. Bahkan dia sempat diajak mengerjakan pabrik di Kalimantan Utara, Indonesia.
"Ini fotonya. Kalau tidak ada foto, engkau tidak akan percaya," kata Frans seraya tersenyum.
Begitulah. Singkat cerita, Frans pun berubah menjadi tauke baru, pengusaha konstruksi di Kota Lahad Datu, Malaysia Timur. Selain tambah makmur, mandi ringgit, tubuhnya makin gemuk dengan perut yang buncit.
Sebagai bos yang berlibur Natal dan tahun baru di kampung, Frans tak lupa membawa seperangkat kembang api yang megah ala show-show besar di kota. Pada malam tahun baru kembang api itu dinyalakan dan menjadi tontonan orang kampung.
"Saya kembali ke Malaysia, tapi saya sudah komitmen untuk pulang kampung dua tahun sekali," ujar Frans ketika berpamitan dengan saya.
Mengapa tidak tiap tahun saja pulang? Ringgit kan banyak?
"Wah, saya harus gantian dengan yang lain. Sebab, proyek konstruksyen di Lahad Datu harus jalan terus," katanya.