Mantan TKI yang merupakan pasangan suami istri, Sukisman
dan Dewi, mencoba menyiapkan hari tua seawal mungkin. Keduanya sama-sama
berusia 35 tahun, dan pernah menjadi Tki di Korea. Pasangan
suami istri yang mengaku saling bertemu di Jakarta itu kini sukses
beternak telur puyuh. Keuntungan bersihnya mencapai Rp. 1 juta/pekan.
Modal awal pun sudah kembali dalam waktu enam bulan. Sukses itu tidak
datang tanpa ujian. Tetapi diawali dengan kebangkitan total usahanya
dalam beternak sapi. Akibat kebangkrutan besar itu, Dewi harus rela
ditinggal pergi suaminya ke Korea. Mencari modal lagi untuk usaha.
Padahal, waktu itu Dewi yang asli Garut, Jawa Barat baru saja melahirkan
anak pertamanya, Gerrad Meilano (5). Sedangkan putra keduanya, Aditya
Al Majid yang kini berusia 11 bulan lahir hampir bersamaan dimulainya
bisnis telur puyuh.
Dewi mengawali rumah tangganya dengan ketidakpastian sumber penghasilan.
Namun, mereka kini sudah mapan. Memiliki toko pakan ternak bertingkat
dua dan beternak puyuh petelur sebanyak 4 ribu ekor. Penjualnya juga
sudah ajeg. Ada pengepul dari Klaten yang setiap dua minggu sekali
datang mengambil telur. Ini masih ditambah keuntungan besar bisnis
burung kicau yang harganya mulai dua ratus ribu sampai jutaan rupiah.
Sukses Pasca Bangkrut
Dewi, asal Garut Jawa Barat. Berasal dari keluarga tidak mampu dan
tinggal di desa. Seperti pada umumnya perempuan muda yang baru saja
lulus SMA di tahun 1996, Dewi juga ingin segera bekerja. Pasalnya,
sekolah di perguruan tinggi jelas tidak mungkin. Ketiadaan biaya menjadi
kendala. Alhasil, sejak tamat dari SMA, Dewi bertekad mencari pekerjaan
sebisanya. Padahal, di Garut jarang ada pabrik besar. Karena itu, Dewi
yang ingin mengubah nasibnya membulatkan tekad untuk merantau.
Pertama kali, bekerja di sebuah pabrik di Purwokerto. Tetapi, hanya
bertahan selama dua tahun. Sesudah itu, pulang ke desa dan menganggur.
Tak ingin hanya berpangku tangan, Dewi kembali bekerja. Tekadnya semakin
bulat dan besar, sehingga dirinya memutuskan untuk bekerja ke luar
negeri. Setelah susah payah melamar melalui PJTKI, awal tahun 2003 bisa
berangkat ke luar negeri dan bekerja di sebuah pabrik pembalut di Korea.
Ketika hendak berangkat ke luar negeri itulah, dia bertemu dan
berkenalan dengan Sukisman. Seorang TKI asal Selman yang juga hendak
mengadu nasib di Korea.
Perkenalan itu berlanjut salama keduanya berada di negeri orang. Sehabis
masa kontak kerja yang kedua, Dewi dan Sukisman pulang ke Indonesia.
Waktu itu, tahun 2005. Setahun kemudian, 2006, mereka menikah, “waktu
menikah itu, kami sama-sama masih menganggur,” ungkap Dewi. Saking
pusingnya tak kunjung mendapat pekerjaan, Sukisman nekad berangkat ke
Korea lagi. Sedangkan Dewi tinggal di Garut bersama anak pertamanya yang
waktu itu baru berusia dua minggu.
Tiga tahun lamanya Sukisman bekerja di Korea. Tahun 2009, Sukisman
pulang dan keduanya sepakat membuka usaha di kampung halaman Sukisman di
Pendowoharjo, Sleman. Dewi setuju. “Tahun 2009 itu, kami sepakat
beternak sapi. Tidak tanggung-tanggung, kami berdua membeli 10 ekor
sapi. Tapi, semua itu gagal. Harga sapi terjun bebas dan kami rugi dua
juta rupiah perekor. Itu belum termasuk kerugian tenaga dan pakan,”
kenang Dwi.
Namun, kegagalan itu tak membuat mereka putus asa. Sebaliknya, terus
memompa semangat suaminya untuk terus berushaa. Akhirnya melalui seorang
teman, Dewi belajar beternak puyuh petelur. Akhir tahun 2009, Dewi dan
Sukisman bahu membahu membangun peternakan puyuh. Uang sisa penjualan
sapi yang ruti, diinvestasikan lagi untuk beternak telur puyuh dan
membuat warung pakan ternak kecil-kecilan.
“Tidak disangka, dari ternak puyuh sebanyak 4 ribu ekor, semua modal
sudah kembali dalam waktu enam bulan. Omzetnya sangat tinggi,” kata
Dewi. Kini, Dewi semakin tekun memelihara telur puyuh. Sekalipun cukup
sulit, hasilnya sepadan. Memelihara puyuh petelur itu sulit, karena
tergolong ternak sensitif. Mudah tertular penyakit dan stres. “Kalau
mendengar suara keras yang mendadak, puyuh bisa stres. Tapi dengan
kandang yang tertutup dan dibersihkan setiap hari, semua kendala itu
tidak bermasalah,” jelas Dewi, seraya mengimbuhkan karena itu pula
dirinya melarang orang lain untuk bisa mauk ke kandang. Selain
keuntungan dari telur puyuh. Dewi juga masih memperoleh keuntungan lain
dari penjualan kotoran puyuhnya. Dari 4 ribu ekor puyuh, dalam sehari
menghasilkan kotoran sebanyak 3 ember. “Satu ember kotoran puyuh yang
masih basah laku terjual sebesar seribu rupiah,” katanya.
Sedangkan dari puyuhnya sendiri, kadang juga masih bisa diperoleh
sedikit keuntungan lagi. Setahun, sekali, puyuh yang sudah tidak
produktif dijual seharga Rp. 2.500/ekor dan diganti puyuh usia 3 minggu.
“Puyuh akan mulai bertelur pada usia 60 hari dan mencapai puncak
produktivitasnya pada usia 10 bulan,” pungkasnya.
Sumber : kertasbiasa.blogspot.com